by Meekaela
Saya belum punya anak. Menikah saja belum
. Tapi saya biasanya menjadi ‘korban’ juga, status saya yang masih
lajang, mendorong orang menjadikan saya target untuk pengajuan ‘soft loan’
ke saya dengan alasan untuk anak sekolah. Mungkin saya adalah tipe
orang yang kejauhan mikirnya. Mendekati tahun ajaran baru ini, bermacam –
macam cerita mampir ke kuping saya. Masalah anak, masalah pendidikan.
Mau tidak mau saya bergidik, tambah khawatir bagaimana jaman saya punya
anak nanti…
Segitu mahalnya kah pendidikan di
Indonesia? Atau tingkat pendapatan para orang tua yang statis sehingga
mengurangi kemampuan untukmenyekolahkan anak – anaknya? Atau para orang
tua masa kini yang tidak lagi memprioritaskan pendidikan, sehingga di
mata saya, seolah – olah mereka mampu sering jalan – jalan ke mall
tetapi melempem saat dimintai dana pendidikan anaknya?
Kejadian pertama adalah masalah pinjaman
untuk mengangsur dana pembangunan sekolah. Berapa? Rp 3 Juta. Itu
sekolah negeri. Mahal itu buat saya. Jaman saya SMA, dana pembangunan
‘cuma’ Rp 200 Ribu.
Kejadian kedua adalah masalah pinjaman
juga, untuk membayar biaya daftar ulang. Besarnya saya tidak terlalu
tahu. Tetapi mencapailah Rp ratusan ribu.
Kejadian ketiga adalah obrolan iseng di
kantor. Seorang rekan bercerita ia akan habis – habisan tahun depan,
karena si sulung masuk kuliah dan si bungsu masuk SMP. Saya kurang
jelas, ‘habis – habisan’ itu berkisar berapa juta ya?
Kejadian keempat, induk semang saya.
Tahun ini anak laki – lakinya masuk SMP. Karena nilai UAN nya tidak
terlalu bagus, jadi tidak bisa masuk ke SMP yang diinginkan. Kalau mau
lewat ‘jalan belakang’, ada biaya Rp 4 Juta. Induk semang mengundurkan
diri. Anaknya dimasukkan ke SMP yang lebih rendah kualitasnya.
Rekan – rekan saya yang lain cuma menasehati, “Mee, kalau punya anak nanti, langsung ikutkan asuransi pendidikan. Biar ngga pusing”.
Huuuuuhhh…. sesak napas rasanya. Segitu susahkah punya anak?