Rabu, 09 November 2011

Bangunan Tahan Gempa Berbasis SNI

BANGUNAN TAHAN GEMPA 
BERBASIS STANDAR NASIONAL INDONESIA

Prof. Suwandojo Siddiq*)
Abstrak

When strong earthquake occurs, (Magnitude is larger than 6,0 SR), usually followed by earthquake damages,such as multi story buildings and non engineered structures (public houses), and big number of victims, in the area close to epicenter. If the location of hypocenter is under bottom of the sea, its depth is less than 30 km (shallow earthquake),  the magnitude M is not less than 7.0, and the type of earthquake is thrust or dip-slip, the earthquake may be followed by tsunami (tsunami is Japanese words, means harbor sea-waves). Great tsunami with run up more than 2.0 meters is able to destroy every thing on the beach and kill big number of human lives. Earthquake shock will generate ground acceleration, and may cause building/housing damages and collapses.The damaged buildings are caused by weakness of building/house structures, such as: bad quality of building-materials, unperfected structural configuration, utilization of unsuitable building materials and/or building structures, and the last but most important is not implemented SNI-guidance regarding aseismic (anti-seismic) structures properly. 
This paper will discuss the weakness of public houses (Non Engineered Structures) and Multi story Structures (Engineered Structures), and the role or the function of SNI in improving quality and safety of buildings against earthquake motion.



Keywords: weakness of building/house structures, mutu bahan bangunan, quality of building-materials, SNI, Non Enginered Structures (NES), Enginered Structures (ES).
 
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagian besar kepulauan Indonesia, merupakan kawasan rawan terhadap bahaya bencana gempa bumi. Hanya wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah saja yang dapat dikatakan bebas terhadap bahaya
gempa. Sepanjang Pulau Sumatera bagian barat, Pulau Jawa bagian selatan, NTB dan NTT, merupakan kawasan gempa sedang sampai gempa kuat, atau merupakan kawasan yang berhadapan langsung dengan  subduction disepanjang Lautan Hindia yang membentang dari barat (Aceh) sampai ketimur (NTT). Sulawesi
Utara dan Tengah, Kepulauan Maluku dan Pulau Irian Barat sepanjang sisi utara, merupakan kawasan rawan gempa kuat juga. Gempa terakhir (akhir tahun 2004), terjadi Nabire, Alor dan Nanggroe Aceh, banyak menimbulkan kerugian materi dan korban jiwa. Kasus gempa Aceh Desember 2004, menimbulkan korban lebih dari 105 ribu jiwa, belum termasuk yang cedera dan hilang. Ringkasnya, gempa sedang
sampai kuat, sering merusak atau menghancurkan banyak bangunan dan menimbulkan banyak
korban jiwa.
Sering terjadi, bahwa kejadian gempa menjadi bencana, karena menimbulkan banyak kerusakan harta benda dan korban jiwa. Korban jiwa terjadi akibat tertimpa bangunan yang roboh mendadak, karena tidak kuat menahan beban dinamik gempa. Bangunan yang sudah dibuat tahan gempa, tidak akan rusak atau roboh walaupun terjadi gempa. Bangunan yang tidak roboh, tidak menimbulkan bencana, sehingga bencana dapat dicegah atau dikurangi.
1.1 Kegempaan Dunia dan Di Indonesia
Di seluruh muka bumi, terdapat 8 (delapan) lempeng tektonik utama. Lempeng Pasifik, dikenal sebagai lempeng yang teraktif. Wilayah Indonesia terletak di antara 4 lempeng aktif, yaitu Lempeng Pasifik, Eurasia, Australia dan lempeng Pilipina. Dimensi, posisi dan arah gerak semua lempeng tektonik dunia.



Gambar 1 Lempeng Tektonik dunia, yaitu Eropa-Asia  (Eurasian), Australia, Pasifik, Nazca, Amerika Selatan, Amerika Utara, Atlantik, Antartika, Afrika, Cocos, dan Pilipina. Indonesia terletak pada pertemuan antara lempeng Australia (yang bergerak ke arah utara),  lempeng Pasifik (yang bergerak ke arah Utara-Barat) dan lempeng Eurasia. Sehingga peristiwa gempa sering terjadi (gempa kuat rata-rata terjadi 3 kali  setiap 2 tahun di Indonesia).  




Gambar 2 Titik-titik lokasi epicentrum, magnitud dan kedalaman gempa yang terjadi di Indonesia selama 10 tahun (1991 s/d 2001).    
Sumber BMG 2002
  
Setiap tahun, di wilayah Indonesia rata-rata terjadi gempa kuat yang merusak, sebanyak satu sampai dua kali (atau 3x per 2 tahun). Maka upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan bangunan dan bencana adalah:  
1) membuat tahan gempa terhadap bangunan baru yang akan dibangun;
2) memperkuat bangunan yang lemah (yang sudah ada) agar kuat terhadap gaya gempa yang akan terjadi,  repairing, strengthening and retrofitting.
3) memperbaiki dan memperkuat bangunan telah rusak (ringan s/d sedang) akibat gempa sebelumnya, agar kekuatan dan kekakuannya dapat dikembalikan seperti kondisi semula, atau lebih kuat/kaku.
Untuk mendesain bangunan baru atau meperbaiki, maka beban gempa desain
ditentukan berdasarkan zoning gempa Indonesia yang baru: (SNI gempa 2002) berikut:




Gambar 3 Peta wilayah gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan-dasar, dengan periode ulang 500 tahun. Zone-6, merah, wilayah gempa terkuat. Zone-1, warna putih, wilayah bebas gempa. Jakarta
dan Yogya, misalnya,  terletak diantara Z-4 (kuning) dan Z-3 (hijau), maka digunakan Z-4 200 gals.

2. JENIS KERUSAKAN BANGUNAN DAN PENYEBABNYA

2.1 Sebab-Sebab Kerusakan Bangunan 
2.2.1. Tingkat Kerusakan Struktur Bangunan dan Faktor Penyebabnya
Dari hasil pengamatan lapangan pada kerusakan bangunan akibat gempa, (di Indonesia juga di Kobe Jepang 1995),  selama lebih dari 20 tahun (sejak gempa Tasikmalaya, Garut 1979), maka dapat disimpulkan sebagai berikut [Kepust 5&6]:

a. Tingkat kerusakan bangunan akibat gempa tergantung dari [Kepust 14, 15 & 16]:
• Kekuatan gempa,
• Intensitas gempa,
• Durasi atau lamanya gempa berlangsung,
• Kondisi tanah dan struktur geologi tanah,
• Banyaknya frekwensi getaran tanah,
• Konfigurasi struktur bangunan, 
• Kontinuitas kekakuan struktur dan distribusi massa tingkat,
• Kekuatan dan daktilitas struktur bangunan,
• Mutu bahan bangunan,
• Mutu pengerjaan konstruksi bangunan.
b. Faktor penyebab kerusakan struktur bangunan:
• Kesalahan konfigurasi sistem struktur, (tidak mengikuti kaidah struktur bangunan tahan gempa, seperti 
keteraturan, kontinuitas, kesimetrisan pada seluruh bagian bangunan),
• Adanya perlemahan (lubang bukaan yang besar) pada dinding (pasangan) struktural,
• Tidak meratanya distribusi kekakuan (arah vertikal dan horizontal),
• Tidak meratanya distribusi beban (massa tingkat), dan besarnya lengan eksentrisitas (jarak pusat massa CM dan pusat kekakuan CR ),
• Kurangnya kekakuan, kekuatan dan daktilitas struktur,
• Struktur lapisan tanah, daya dukung tanah fondasi dan daya dukung komponen struktur fondasi.
c. Jumlah kurban (manusia) tergantung dari:
• Kepadatan penduduk di wilayah yang terkena gempa,
• Waktu (jam) terjadinya gempa (contoh Gempa Kobe, 1995, terjadi pada jam 6:15 pagi, banyak warga menggunakan peralatan dapur gas untuk memasak, kebakaran rumah kayu dalam jumlah
besar tidak dapat dihindari, kurban meninggal di wilayah perumahan ini lebih dari 5000 jiwa). [Kepust 5]
• Kesiapan warga (penduduk) untuk mengantisipasi terjadinya gempa setiap waktu.

2.2.2. Bahan Bangunan dan Kecocokan Sistem Struktur terhadap Beban Seismik
Tidak semua bahan bangunan dan sistem struktur bangunan yang digunakan oleh masyarakat, memiliki ketahanan yang baik terhadap beban lateral dinamik akibat gempa. 
Dalam tabel berikut secara ringkas dikelompokkan tingkat kecocokannya sistem struktur dengan ketahanannya terhadap beban seismik.


Tabel 1 Jenis Bahan, Sistem Struktur dan Daya Dukung terhadap Gempa  [Kepust 1,3,5 & 6]

TINGKAT KECOCOKAN TERHADAP BEBAN LATERAL GEMPA
No. Jenis Bahan dan Sistem Struktur Bangunan Sangat Baik Baik Kurang Baik Jelek CATATAN
01 Dinding pasangan bata/batako polos Bobotnya besar, regas, (brittle), tidak daktail
02 Pasangan bata dgn perkuatan (confined)

03 Pasangan conblok dengan perkuatan (confined)
04 Pasangan hollow conblock
bertulang (R/M)
  κ   
05 Rangka kayu + pasangan
bata (dengan jangkar)
  κ   
Bobot sedang, daya
dukung sedang,
daktilitas sedang.
06 Struktur rangka kayu +
bracing (X-brace)
κ  κ   
07 Struktur rangka beton
bertulang, R/C & SRC
κ    
08 Struktur rangka baja ringan +
bracing
κ  κ   
09 Struktur rangka baja kaku  κ    
Berat sendiri minimum,
daya dukung sedang
s/d tinggi, kekakuan
dan daktilitas tinggi.
Catatan: Polos = tanpa perkuatan; R/M = Reinforced Masonry  (B3-B, pasangan blok beton berongga dengan
tulangan).

2.1 Kegagalan Struktur Bangunan dan Teknik
Perbaikan dan Perkuatan
Dari pengamatan dan studi lapangan selama
lebih dari 20 tahun terhadap kerusakan
bangunan akibat gempa yang terjadi di berbagai
tempat di Indonesia, menunjukkan bahwa
penyebab kerusakan tersebut erat hubungannya
dengan: 
a. rendahnya mutu bahan, seperti kayu lapuk,
kuat tekan beton rendah, keropos,    84
b. rendahnya mutu konstruksi (pengerjaan),
seperti beton tanpa kompaksi, 
c. tidak efektif atau kurang benarnya sistem
dan konfigurasi struktur,    
d. tidak efektif atau kurang benarnya
penyelesaian detail sambungan antar
komponen, 
e. kondisi tanah, jenis dan lapisan tanah di
lapangan,
f. kekuatan dan lamanya getaran gempa
berlangsung. 
Jenis kerusakan bangunan akibat gempa di
Indonesia, seperti tercantum dalam Tabel 1,
dijelaskan secara faktual di dalam foto-foto
berikut:
 

2.1.1 Bangunan Rumah (NES) dengan Struktur Rangka Kayu (Tradisional)
  
Gambar 4 Struktur Rangka Kayu pada Bangunan Penduduk (Tradisional) Sumatera

Kelemahan struktur rangka bangunan seperti
terlihat di Gambar 4 adalah:
a. massa (beban-tingkat) besar terpusat di
lantai atas, dan 
b. stuktur rangka bawah lemah dan tidak kaku,
soft story. Ikatan antara kaki kolom dengan
fondasi umpak tidak ada. 
c. sistem sambungan kolom dan balok (sistem
takikan) tidak kaku dan lemah, akibatnya
bangunan mudah tumbang bila terkena
beban datar (lateral). Gempa Liwa 16-2-
1994.
       
Saran Perbaikan Konstruksi (Rumah Kayu): 
a. mengkakukan kolom-kolom di tingkat bawah
dengan memasang diagonal bracing (batang
pengaku-silang), 
b. memperbaiki teknik sambungan kolom
bawah dengan kolom atas, 
c. menggunakan kayu yang tidak mudah lapuk
untuk komponen struktur vertikal (berat jenis
kayu ≥ 0,55), 
d. memperbaiki hubungan kaki kolom dengan
fondasi, 
e. mengikat kaki kaki kolom dua arah (seperti
tie-beam), 
f. memperbaiki hubungan kaki kolom dengan
fondasi umpak, dengan memasang pelat
baja+baut sebagai jangkar pengikat.

2.1.2 Struktur Dinding Pasangan Bata Polos  
Umumnya, bangunan rumah penduduk, meng-
gunakan dinding struktur pasangan bata polos,
tanpa perkuatan atau tanpa sistem penahan
beban gempa. Foto berikut menunjukkan
runtuhnya dinding pasangan bata polos, diikuti
jatuhnya rangka atap secara mendadak, yang
langsung menimpa penghuninya yang tidak
sempat menyelamatkan diri.







 

85
Bangunan (NES), Struktur Pasangan Bata Polos, Runtuh Akibat Gempa

  
Gambar 5a Struktur pasangan bata polos, bobot
matinya besar, kekuatan dan daktilitasnya terhadap
beban lateral (gempa) sangat rendah, sehingga
mudah runtuh total pada gempa Kerinci 7-10-1995. 
Gambar 5b Rusak berat (runtuh total)
bangunan rumah yang struktur vertikalnya
terbuat dari dinding pasangan bata polos,
tanpa komponen perkuatan. Akibat Gempa
Yogya 27-5-2006.

Runtuh Bangunan Penduduk NES Pasangan Bata Polos, Akibat Gempa Yogya



Gambar 5c Roboh total bangunan rumah
tradsional Jawa (BRTJ), akibat robohnya soko-
guru dan dinding penyangganya, diikuti jatuhnya
seluruh rangka atap.
 Gambar 5d Walaupun rangka atap (kuda-kuda)
masih utuh, tetapi runtuhnya dinding-bata
pemikul atap, menyebabkan runtuh total seluruh
bangunan.



Gambar 5e Dinding bata polos roboh, diikuti
jatuhnya rangka atap. Bata reruntuhan dinding
berserakan akibat rendahnya mutu adukan,
(latar depan). Gempa Yogya, Kab. Bantul.
 Gambar 5f Dinding pasangan bata polos (P/M)
berfungsi sebagai  bearing wall, mendukung
kuda-kuda atap, runtuh total, diikuti jatuhnya
rangka atap. Kota Yogya.
Saran Perbaikan Struktur:  Untuk mencegah runtuhnya sistem struktur ini,
disarankan menggunakan penguat sistem   86
rangka beton bertulang atau rangka kayu,
sehingga dinding pasangan yang dikelilingi oleh
balok dan kolom beton atau kayu dapat
berfungsi sebagai  confined-masonry dan  shear-
wall. Kuat terhadap gempa.

2.1.3 Bangunan NES dengan Struktur
Kombinasi Rangka Kayu & Pasangan
Bata
Rangka kayu, berfungsi sebagai pengekang
dinding (confinement), bila dilengkapi baja
pengikat antara dinding kepada kerangka kayu
akan mampu meningkatkan dinding sebagai
struktur tahan gempa.
Saran Perbaikan Konstruksi: 
a. perkuat sambungan/ikatan antara balok dan
kolom kayu dengan paku PB-100 – 120 mm,
b. pasang batang angker (baja penampang    
6–8 mm) di sisi dalam rangka kayu, yang
berfungsi sebagai pengikat dinding
pasangan ke kolom dan balok. 
c. dinding bata dipasang lagi menggunakan
adukan 1PC : 4 - 5 Pasir.






Gambar 6 Struktur rangka kayu yang dikombinasikan dengan pasangan bata sebagai pengisi
(infill-wall), tetapi tidak dilengkapi besi jangkar yang mengikat sisi-sisi dinding terhadap kolom &
balok kayu. Bobot mati pasangan yang besar menghasilkan gaya inersia lateral (face load) yang
besar, menyebabkan pasangan bata runtuh total. Gempa Flores 12-12-1992.             

2.1.4 Bangunan NES, dengan Struktur Rang-
ka Beton Bertulang Dikombinasikan de-
ngan Dinding Pasangan Bata
Jenis bangunan ini banyak mengalami ke-
rusakan berat sampai runtuh total. Hal ini
disebabkan oleh faktor berikut:
a. dinding bata bobotnya besar (berat) tetapi
bersifat getas (britle). Dinding pasangan
polos, tidak memiliki  ketahanan terhadap
gaya lateral geser, jadi mudah patah atau
roboh
b. mutu bahan dan mutu pengerjaan jelek,
tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk
menahan beban gravitasi dan lateral gempa,
yang terjadi pada struktur, sehingga struktur
mudah rusak dan/atau runtuh. Mutu
pengerjaan yang jelek, juga akan
menghasilkan mutu konstruksi yang buruk
dan lemah.
Struktur ini masih baru selesai dibangun, masih
belum beratap, tetapi runtuh disebabkan oleh
a. mutu bahan beton yang sangat rendah (foto
kiri), 
b. detail tulangan yang tidak memenuhi syarat
“kesatuan komponen”, yaitu ujung tulangan
balok tidak terjangkar cukup dalam ke
kolom, demikian juga ujung tulangan kolom
tidak terjangkar cukup panjang ke balok,(foto
kanan), lihat Gambar 5d.
c. join balok-kolom tidak dilengkapi dengan
sengkang penahan geser dan pengekang
inti join (confining steel).

 

87


Gambar 7a Gempa Kerinci, Sumatera 7-10-
1995, Struktur rangka beton bertulang yang
dikombinasikan dengan dinding pasangan bata
pengisi (infill-wall). 
Gambar 7b Runtuh struktur rangka beton
(BTRS), akibat kelemahan pada joint (BCJ,
Beam Column Joints), diikuti dgn jatuhnya
seluruh rangka atap.
Contoh Kesalahan Detail Baja Tulangan pada Join Balok-Kolom:

  
Gambar 8a Contoh detail baja-
tulangan struktur rangka beton yang
salah, yang menyebabkan keruntu-
han bangunan pada Gambar 5e.
Ujung batang tulangan balok tidak
terjangkar ke dalam kolom atau
balok lainnya. Gempa Liwa
Palembang16-2-1994.
Gambar 8b Struktur rangka beton bertulang yg
dikombinasikan dengan dinding pasangan bata. Foto kiri dan
kanan, bangunan runtuh disebabkan oleh: (1) dinding bata
tidak diperkuat dg tulangan penahan beban tegak lurus
bidang  (face load),  (2) penyelesaian detail join komponen
beton yang tidak sesuai dengan ketentuan bangunan tahan
gempa (lihat keterangan Gambar 5d), (3) mutu pengerjaan
yang rendah. Gempa Liwa 16-2-1994.

Saran perbaikan: 
Untuk mencegah terjadinya keruntuhan seperti
ini, maka harus dilakukan: 
a memperbaiki mutu beton dan mutu
pengerjaan. Campuran bahan untuk 1 m3

beton misalnya 300 kg PC:800 kg
Pasir:1000 kg Kerikil dan 200 Liter air, dapat
digunakan untuk struktur bangunan seder-
hana. 
b penyelesaian detail tualangan harus
mengikuti ketentuan struktur tahan 
c gempa SNI Beton tahun 2002, yaitu ujung
tulangan suatu komponen rangka harus
terjangkar cukup kuat ke dalam komponen
lain yang tersambung satu sama lain.  
d memasang beberapa tulangan sengkang
(penahan geser dan pengekang inti join)
pada join balok kolom.


   88
2.2 Kasus Gempa Yogya (Gempa Sedang-
Kuat,  27-05-2006)
2.2.1 Bahan dan Tipe Struktur yang Banyak
Digunakan
a Bangunan penduduk  (atau NES, bangunan
Tanpa Rekayasa Struktur, TRS), berfungsi
sebagai rumah tinggal atau bangunan
fasilitas umum, banyak menggunakan bahan
bata sebagai dinding pasangan stuktural
(pemikul beban vertikal dari atap atau lantai-
tingkat + atap), rangka-kayu + papan atau
gedek, rangka-kayu + dinding pasangan ½–
bata, atau rangka beton bertulang + dinding
pasangan setengah-bata (tebal dinding 12 –
15 cm).
b Pada bangunan besar dan/atau bertingkat
banyak (2–6 tingkat, atau  Engineered
Structures, ES), biasa digunakan struktur
rangka beton bertulang yang dikombinasikan
dengan dinding pasangan bata sebagai
dinding pengisi antar kolom (non structural
infill wall). 
c Struktur yang dirancang dengan mengikuti
ketentuan SNI gempa dan SNI struktur beton
tidak mengalami kerusakan yang berarti,
struktur utamanya tidak mengalami kerusa-
kan struktural, seperti kasus gedung kampus
terpadu UII di Jl. Kaliurang. Sedangkan
bangunan yang tidak mengikuti ketentuan
SNI, mengalami kerusakan berat, seperti
kasus gedung BPKP, FTIE dan ISI. 

2.2.2 Definisai Bangunan ”TRS”  (atau NES)
dan ”DRS” (atau ES).
a. Bangunan Tanpa Rekayasa Struktur “TRS”
(NES, Non Engineered Structures)
“Bangunan Penduduk” adalah bangunan
yang dibangun oleh penduduk dengan
metoda konstruksi sederhana/tradisional,
tanpa sentuhan rekayasa struktur dan/atau
teknologi konstruksi dan analisa struktur
rasional tahan gempa.
Kelemahan Struktur TRS, biasanya terletak
pada: 
• Mutu bahan bangunan rendah, seperti kayu
lunak, tua/lapuk; beton kuat tekan rendah; 
• Lemahnya sistem sambungan antar batang-
komponen, seperti sambungan takikan/gigi
(tounge & grouve) atau cara tradisional
Jawa,
• Rendahnya mutu adukan/mortar, yaitu
menggunakan semen merah dan pasir,
kadang-kadang kapur, (tanpa semen), 
• salah konfigurasi dinding struktural, seperti
besarnya lobang bukaan (luas bukaan pintu
dan jendela, melebihi batas maksimum 50%
dari luas bidang dinding),
b. Bangunan dengan Rekayasa Struktur“, DRS
(atau ES, Engineered Structures)
“Bangunan DRS”, yaitu bangunan yang
dirancang dan dibangun oleh ahli bangunan
atau ahli struktur dan konstruksi, berdasar-
kan kaidah statika rasional dan rekayasa
struktur yang benar, rasional dan efektif
Kelemahan yang terjadi pada Struktur
Rangka Beton Bertulang terhadap gempa,
antara lain:
• Kesalahan konfigurasi struktur, dan
kesalahan konsep desain struktur (misal soft
column effect, short column effect, torsion
effect dan kelemahan terhadap geser), 
• Rendahnya mutu beton, kuat tekan beton
rendah, beton keropos dsb.
• Kesalahan proses konstruksi atau rendahnya
mutu pengerjaan.

2.2.3 Kelemahan dan Kerusakan Bangunan
a. Bangunan TRS Struktur-Kayu
Kerusakan  bangunan (khususnya peruma-
han) tradisional jawa, dengan struktur rangka
kayu, umumnya disebabkan oleh faktor
berikut:
• akibat aging/umur kayu (kayu sudah
tua/lapuk atau mutu kayu rendah, misal
BJ ≤ 0,40),
• akibat lemahnya sistem sambungan
antar komponen rangka kayu, (sambu-
ngan tradisional dengan gigi takik atau
purusan), tanpa alat sambung (fastener),
• salah campuran pada adukan untuk
dinding pasangan bata (dinding pengisi
antara kolom); penggunaan semen-
merah (serbuk bata merah) + pasir, akan
menghasilkan aduk yang sangat rendah
kekuatannya. Semen merah adalah
bukan bahan pengikat agrigat pasir. Bila
digunakan kapur sebagai perekat (bukan
semen), juga akan menghasilkan mortar
yang rendah mutunya (kuat tekan sekitar
5 – 10 kg/cm2
). Karena itu dinding
pemikul atap banyak yang tumbang
(roboh) akibat beban lateral (face-loads)
yang ditimbulkan oleh gaya inersia
gempa. Dindingnya roboh, tetapinya
batanya masih tetap utuh, artinya
aduknya lebih lemah dari batanya, dan
akibat faktor kelangsingan dan beban
eksentris.
Contoh rusaknya bangunan tanpa rekayasa
struktur,  BTRS (NES),  dan keterangan sebab-

89
sebab keruntuhannya, akan dijelaskan dalam gambar-gambar berikut:

Bangunan NES, Bangunan penduduk, tradisional Jawa, struktur Rangka-kayu


Gambar 9a Dinding rumah traddional  jawa, 
aslinya dari kayu papan atau gedek.
Sekarang diganti pasangan bata.  
Gambar 9b Roboh total bangunan rumah tradsional
Jawa

Detail Sambungan-tradisional Jawa, komponen rangka kayu kolom dan balok sunduk bandang,
sunduk kili,  sistem sambungan catokan.



Gambar 10a  Bentuk dasar konstruksi rangka kayu
rumah tradisional Jawa
 Gamabr 10b  Detail isometris sambungan
antara soko-guru dengan balok sunduk-
bandang, kili dan blandar.

b. Bangunan Tanpa Rekayasa Struktur, “TRS”,
Struktur Rangka Kayu Tradisional Kraton-
Jawa, 
Konsep Struktur Rangka Tradisional Jawa
Bentuk Joglo, pada dasarnya memiliki empat 
Tiang Utama (Soko-guru). Tetapi disesuaikan
dengan fungsinya, maka untuk memperluas
denah bangunan, maka joglo berkembang
menjadi 4 Soko guru ditambah 12 tiang
disekelilingnya seperti  ”Joglo Jompongan”,
”Joglo Sinom” (dengan 12 tiang di emperannya),
joglo ”Mangkurat” dan Joglo ”Tajug Mangkurat” 

dan  ”Tajug Jeblokan” yang memiliki 4-soko guru
ditambah 28 soko-guru lapis luar.
Walaupun bangunan tradisional Jawa
mempunyai sejumlah variasi, tetapi sistem
sambungan antara soko-guru dengan balok
pengikat keliling  (blandar, sunduk bandang dan
sunduk-kili), yang berfungsi sebagai pengaku
struktur di bagian atas. Sedangkang kaki-kolom
(soko-guru), tertumpu bebas di atas fondasi-
umpak, yang ujung bawahnya diberi lidah
(sunduk) sepanjang 5 – 7 cm, masuk ke dalam
sisi atas umpak. Karena itu kaki kolom bersifat
sendi (tidak kaku, mudah berputar) dan
sedangkan ujung kolom-atas (diharapkan)
bersifat ”agak-kaku”. Lihat Gambar 11a sampai
11c. Sambungan ini tidak mungkin mencapai   90
kaku-sempurna. Karena stabilitas empat soko-
guru, hanya dihasilkan dari sunduk-bandang dan
sunduk-kili ditambah dua-balok-blandar dengan
sambungan ”catokan”. Semuanya hanya ditahan
dan/atau disatukan oleh  ”sunduk”,  (ujung-atas
soko-guru yang ditakik) yang berpenampang
sekitar 50 x 50 mm (atau 5 x 5 cm).
  
Detail Konstruksi Struktur Rangka Kayu Tradisional Jawa (Kraton)
  
Gambar 11a Detail sambungan
antara soko-guru dgn balok-
balok pengaku-atas (bandang,
kili,  blandar dan elar)
Gambar 11b  Detail perepektif dari
gambar 2.3-15, hubungan soko guru
dengan balok-balok sunduk, blandar
dan elar.
Gamabr 11c Detail
isometris sambungan
antara soko guru dengan
sunduk bandang dan
sunduk-kili.

Bangunan Tradisional Jawa,  Joglo Keraton, Struktur Rangka-Kayu Tradisional.
Roboh Akibat Gaya Lateral-Gempa Yogya 27-5-2006.
 

Gamabr 12a  Bangunan Joglo-kraton,  tahun
1976.
  Gamabr 12b Bangunan Joglo kraton  runtuh-
total. Foto dibuat sehari setelah gempa 27-Mei-
2006 pagi

Detail Sambungan dengan metoda ”Purusan dan
Catokan”
Gambar 11a memperlihatkan hubungan kaki
kolom-kayu (soko-guru) dengan fondasi umpak,
tanpa alat sambung (fastenner pelat baja angkur
ke dalam fondasi). Kaki kolom mudah terlepas 

dari tumpuanya, diikuti miringnya bangunan
joglo.
Bagian ujung atas kolom, disambung
dengan balok sunduk kili dan sunduk bandang
(menggunakan sambungan takikan dan lobang
alur + pen, lihat Gambar 11c) yang befungsi 

91
sebagai pengaku struktur rangka. Dan paling
ujung atas terdapat 2 balok blandar dalam arah
saling tegak lurus, yang berfungsi sebagai alas
”balok elar”, juga berfungsi sebagai hiasan
langit-langit yang berjumlah ganjil, 3, 5, 7 atau 9.
Lihat gambar 11a, 11b dan 11c.
Sistem sambungan ini sangat lemah dan
tidak kaku. Mudah patah (runtuh) bila terkena
gaya lateral gempa, lihat Gambar 12a dan 12b
Joglo Kraton.
c. Bangunan dengan Rekayasa Struktur B-
DRS,  Engineered Structures 
Jenis kerusakan struktur bangunan dengan
rekayasa Struktur, B-DRS,  dapat dikelompok-
kan sebagai berikut:
• Rusak akibat kelemahan struktur di tingkat
terbawah,  “soft colum effect”, misal: kasus
runtuhnya gedung STIE dan BPKP Yogya,
• Lemahnya sambungan-balok-kolom, Beam-
Column-Joint weakness, misal kasus rusak
dan runtuhnya gedung STIE Yogya, 
• Kolom rusak geser akibat “kolom pendek”,
“Short column effect, misal kasus rusak dan
runtuhnya gedung Institut Seni Indonesia,
ISI,
• Kurangnya baja sengkang penahan geser
pada kolom dan joint, misal kasus rusak dan
runtuhnya gedung STIE dan ISI,
• Akibat Torsi, misal: kasus rusak dan
runtuhnya gedung BPKP dan ISI.
Ketentuan SNI Struktur Beton:
• Seharusnya, kolom harus lebih kuat dari
balok. Kaidah struktur tahan gempa:
”STRONG COLUMN WEAK BEAM”. Tetapi
Joint harus tetap elastis ketika kolom
mendekti leleh. 
• Bila balok sudah rusak (leleh, terjadi sendi
plastis), seharusnya bangunan tidak boleh
runtuh dan kerusakan struktur masih bisa
diperbaiki.
• Tetapi bila kolom rusak lebih dahulu, atau
join-join sudah rusak, maka bangunan akan
runtuh total, dan tidak akan bisa diperbaiki.
Pada gambar-gambar berikut, akan
ditunjukkan dan dijelaskan contoh kerusakan
strukur rangka beton bertulang (Enginered
Structures, ES) dan penyebabnya.

•  Gedung STIE Yogya (Gambar 13a dan 13b)
Bangunan STIE, 4 tingkat, menggunakan
struktur rangka beton bertulang (open rigid frame
structure). Dimensi penampang kolom yang
relatif langsing (sekitar 300 x 300 mm), spasi
kolom sekitar 4,0 meter.
Beban tekan aksial akibat beban gravitasi
(DL+LL) terhadap kolom terbawah (4x4x4x1)
sekitar 65 ton. Jika mutu beton f’c = 20 s/d 25
MPa., maka nilai rasio   φ0 yang terjadi=
(650000/300/300)/(20 s/d 25)=0,36 s/d 0,29. 
Hasil  research di Laboratorium Struktur
Puslitbang Permukiman oleh penulis makalah ini
(1993) menunjukkan bahwa syarat kolom daktail
φ0 ≤ 0,20.  Jadi Struktur Frame R/C STIE kurang
stabil dan tidak daktail. Tetapi karena di tingkat
atas dipasang banyak dinding dan tingkat
terbawah terbuka tanpa dinding, maka
kelemahan struktur menjadi bertambah besar
akibat kondisi ”SOFT STORY EFFECT”. Akibat
yang logis adalah struktur rangka runtuh total
akibat torsi dan geser.
 
•  Gedung BPKP (Gambar 14a dan 14b)
Bangunan gedung BPKP, 2 tingkat, struktur
rangka kaku beton bertulang. Di tingkat bawah
terbuka (bukaan jendela kaca). Di tingkat atas
lebih kaku banyak dinding. Akibatnya  soft story.
Sisi timur (kiri) struktur bangunan lebih kaku,
sehingga bangunan sisi barat yang tingkat
bawahnya terbuka (soft  story) mengalami
deformasi puntir (torsi). Jadi bangunan runtuh
akibat kombinasi soft story dan torsi.
 

   92



Gambar 13a Runtuh struktur terbawah, akibat
lemahnya kolom-kolom di tingkat bawah (soft
story effect). Tingkat terbawah terbuka,
sedangkan tingkat di atasnya lebih kaku,
dipasang banyak dinding pasangan bata.
 Gambar 13b Lemahnya tingkat bawah juga
akibat lemahnya sambungan balok kolom, beam-
column-joint. Join-kolom balok, terlihat tidak
dilengkapi dengan sengkang penahan geser
(confined  /shear stirrups), akibatnya join
mengalami kerusakan dini.
  

Gambar 14a Bagian barat (kanan) gedung
runtuh akibat torsi dan soft column effect. 
 Gambar 14b Rusak geser pada BCJ (beam-
column-joint), akibat kurangnya sengkang
penahan geser.

•  Gedung Institut Seni Indonesia (ISI)
(Gambar 15 a-c)
Bangunan ISI, 3 tingkat, struktur rangka kaku
terbuka dari bahan beton bertulang (R/C-open
rigid frame). Spasi kolom arah longitudinal
sekitar 6,0 meter, di arah melintang (bentang tepi
kiri – bentang tengah – bentang tepi kanan) =  6
m – 3 m – 6 m.  
Memperhatikan tipe kerusakan kolom-kolom
yang telah terjadi, menunjukkan bahwa kolom
rusak akibat kombinasi  compressived block
failure, torsi, geser dan soft column effect.
Kelemahan kolom-kolom dan join yang rusak
geser disebabkan oleh terlalu kecilnya diameter
sengkang (8 mm), dan kurang rapatnya spasi
antar sengkang (spasi yang ada s  ≥ 200 mm),
sedangkan ketentuan “SNI-Beton Struktur-2002”,
menetapkan bahwa, untuk struktur tahan gempa,
spasi maksimum sengkang kolom s  ≤ 100 mm. 
Akibatnya, ujung-kolom dan join di tingkat bawah
mengalami rusak-berat, akibat geser. Lihat
Gambar 15a,  15b dan  15c. 
Kerusakan kolom struktur dapat dianalisa
sebagai berikut.  
o Dimensi penampang kolom  ≈ 450x450mm.
Dalam arah melintang gedung terdapat 4
kolom, spasi ≈ 6m – 3m – 6m.  Dalam arah
memanjang terdapat 6 deret kolom, spasi
6,0 meter. Beban tekan maksimum pada
kolom terbawah akibat (DL+LL) di saat
terjadi P-wave gempa ≈ 1,5 x {(6+3)/2 x 6} x
3x1ton = 121,5 ton. Bila mutu beton (diasum-
sikan) f’c=25 MPa., maka                             
f’c,a= 1215000/(450x450) = 6,0 MPa.                 
φo = 6/25 = 0,24 ternyata > 0,20 batas maks.
struktur daktail. 
o Beban geser lateral per-kolom sekitar  ≈
{0,15 (15x30x3) x 1ton)} / (4x6) = 8,438 ton. 

93
Tegangan geser v,a = 84380/(450x450) =
0,417 MPa. Ini harus ditahan oleh sengkang
φ = 8 mm,  spasi > 200 mm. Gaya tarik pada
batang sengkang (akibat gaya geser di
kolom) = (0,417x450x200)/2 =18765 N
(18,765 kN) melebihi kekuatan sengkang =
(π/4x82)240 = 12058N (=12,06 kN).
Putusnya sengkang diikuti rusaknya kolom,
seperti ditunjukkan pada gbr 2.3-16.
o kerusakan tekan-aksial yang berlebihan,
diikuti “meledak”-nya kolom ke arah lateral,
sengkang terputus atau terlepas, lihat
gambar 2.3-16, yang disebabkan oleh:
rendahnya kuat-tekan beton, dan tidak
kuatnya sengkang-pengekang.




Gamabr 15a Lantai 2 sudah runtuh di atas
muka tanah, akibat rusak geser (shear
failure) kolom-kolom terbawah yang
dikombinasikan akibat torsi dan  com-
pressived blok failure.
Gambar 15b Hancurnya
BCJ akibat tidak terpa-
sangnya sengkang pe-
ngekang pada join
(bagian yang dilingkari)
Gamabr 15c  Compressived
block failure  pada ujung-
atas kolom, akibat kurang-
nya sengkang penahan
geser dan confinement.

3. SNI DAN BANGUNAN TAHAN GEMPA
3.1 Nama-nama SNI
Nama-nama SNI yang digunakan untuk
Perencanaan Struktur Bangunan Gedung dan
Rumah Tahan Gempa adalah:
a Untuk Bahan Beton, digunakan SNI
Rancangan Campuran Beton: ”Tata Cara 
Pembuatan Rencana Campuran Beton
Normal”, SNI-03-2834-2000.
b Untuk menghitung dan menentukan ”beban
gempa desain”, baik statik maupun dinamik,
digunakan SNI Struktur Bangunan Tahan
Gempa, oleh Badan Litbang Kimpraswil,
Puslitbang Permukiman, 2002:  “Tata Cara
Ketahahan Gempa Untuk Bangunan
Gedung”, SNI-1726-2002.
c Untuk menghitung dan menentukan dimensi
komponen struktur bangunan dari beton
bertulang, baik kekuatan maupun daktilitas-

nya, digunakan SNI Struktur Beton
Bertulang, oleh Balitbang PU, Puslitbang
Permukiman, 2002, Naskah Final RSNI:
“Tata Cara Perencanaan Struktur Beton
Untuk Bangunan Gedung”. 
Catatan: Hingga saat ini, sudah 4 tahun
diajukan ke BSN, nomor SNI-nya belum
keluar.
SNI yang digunakan untuk perencanaan gedung
bertingkat rendah,  NES, atau gedung yang
dibuat oleh penduduk tanpa perhitungan, tetapi
tetap menganut kaidah tahan gempa: 
• SNI Struktur Dinding Pasangan Bertulang
B3-B, berjudul:   ”Tata Cara Perencanaan
Dinding Struktural Pasangan Blok Beton
Berongga Bertulang Untuk Bangunan
Rumah dan Gedung”, SNI-03-3430-1994.

3.2 SNI dan Persyaratan Struktur Bangunan
Tahan Gempa
Ketentuan yang penting, yang mengatur
persyaratan Struktur Beton Tahan Gempa,  SNI
Struktur Beton mengatur sebagai ditunjukkan
secara ringkas dalam tabel dan gambar berikut.
   94
Join Balok-Kolom
  
Ketentuan SNI pada Join interior
1) Ujung-ujung balok yang menyatu kepada
join, dan berpotensi terbentuk sendi
plastis,sepanjang 2xh balok, harus
dipasang sengkang penahan geser
dengan spasi s ≤ 100 mm.
2) Pada inti join, harus dipasang sejumlah
sengkang tertutup, yang berfungsi sebagai
confinement dan penahan gaya geser.
3) Rasio luas tulangan tekan thd tarik, balok
dekat join, As’/As ≥ 50%.
Ketentuan SNI pada Join eksterior
1) Ujung balok yang menyatu kepada join, dan
berpotensi terbentuk sendi plastis,sepanjang
2xh balok, harus dipasang sengkang penahan
geser dengan spasi s ≤ 100 mm.
2) Pada inti join, harus dipasang sejumlah
sengkang tertutup, yang berfungsi sebagai
confinement dan penahan gaya geser.
3) Rasio tulangan balok dekat join, As’/As ≥ 50%.

4. UPAYA PENYEBARLUASAN SNI
STRUKTUR DAN KONSTRUKSI TAHAN
GEMPA
Upaya penyebarluasan SNI dan implimentasinya
di wilayah Indonesia, memerlukan waktu yang
cukup panjang, tenaga ”penyuluh” yang ahli
dan/atau terampil dan biaya yang memadai. 
Sasaran utama ”penyuluhan” SNI adalah
kelompok yang bekaitan dengan kegiatan-
konstruksi, seperti: para pejabat teknis PU di
daerah, konsultan, kontraktor, dosen dan
mahasiswa di perguruan tinggi teknik.
 
4.1 Upaya Penyebarluasan SNI oleh Badan
Litbang PU
Kendala yang sering dihadapi pada upaya
penyebarluasan SNI, antara lain:
(1) tidak tersedianya dan sulit didapatkannya
buku-buku SNI dalam jumlah yang cukup di
daerah-daerah,
(2) belum meluasnya upaya penyebarluasan
SNI di daerah-daerah, terutama di luar Jawa.
(3) terbatasnya tenaga penyuluh atau ahli yang
dapat diterjunkan ke daerah-daerah,
(4) terbatasnya dana yang mendukung kegiatan
penyebarluasan SNI.
Setiap tahun Badan Litbang PU
menyelenggarakan Kegiatan Sosialisasi NSPM
(Norma, Standar, Pedoman dan Manual),
khususnya yang menyangkut ke-PU-an, ke
daerah-daerah di seluruh Indonesia. Problem
yang menonjol antara lain terbatasnya waktu
penyuluhan dan waktu diskusi antara penyuluh
dan peserta, sehingga pemahaman isi SNI
secara lengkap tidak tercapai. Faktor kedua
adalah tidak tersedianya buku-buku SNI yang
disuluhkan dalam jumlah yang cukup. Peserta
tidak memiliki buku SNI yang diperlukan untuk
menunjang pekerjaannya.

4.2 Penyebab Tidak Teraplikasikannya SNI
dalam Bangunan 
Dari hasil studi lapangan di tempat kejadian
gempa di Indonesia, rubuhnya banyak bangunan
gedung dan rumah, bila dikaitkan dengan fungsi
SNI bangunan tahan gempa, antara lain
disebabkan oleh:
(1) Bangunan gedung dan rumah dibuat
sebelum tahun 1980-an, yaitu sebelum terbit
SNI Bangunan Tahan Gempa, atau
bangunan dibangun sebelum ada pedoman,
ketentuan dan SNI yang mengatur struktur
bangunan tahan gempa. Misalnya rumah-
rumah yang sudah dibangun sebelum tahun
1950-an dan gedung-gedung bertingkat
yang dibangun sebelum tahun 1970-an
(misal gedung Fak Hukum, UII Yogya).
(2) Sudah terbit SNI, tetapi sosialisasinya atau
bahan informasinya belum sampai atau tidak
menjangkau ke daerah-daerah tertentu. 

95
Artinya pelaksana bangunan bekerja tanpa
pengetahuan SN Tahan Gempa.
(3) Sosialisasi SNI sudah sampai (baik melalui
seminar, kuliah atau workshop), tetapi tidak,
pelaksana konstruksi (perencana dan/atau
pelaksana/kontraktor) tidak melaksanakan-
nya, dengan alasan: ”melaksanakan SNI
berarti mengurangi keuntungan”. 
(4) Sebagian masyarakat pengguna SNI, ingin
menerapkan kaidah tahan gempa, tetapi
kemampuan ekonomi tidak memungkinkan-
nya, misalnya tidak mampu membayar biaya
konstruksi dan biaya bahan bangunan yang
bermutu-baik, (kasus masyarakat pedesaan
golongan ekonomi lemah).

4.3 Sasaran Penyebarluasan SNI
Upaya sosialisasi atau penyebarluasan SNI,
khususnya SNI Bangunan Tahan Gempa, akan
lebih efektif bila diarahkan kepada: 
(1) Perguruan Tinggi Teknik (Jurusan Sipil dan
Arsitektur), baik kepada dosen struktur
maupun mahasiswa tingkat akhir S1, S2 dan
S3 Jurusan Struktur Bangunan.
(2) Para konsultan dan kontraktor bangunan
gedung dan rumah, 
(3) Para anggota Asosiasi profesional, seperti
HAKI Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia.
(4) Para pejabat PU daerah, khusunya
pengawas dan pemberi izin bangunan.

5. KESIMPULAN

5.1 Faktor Penyebab Kerusakan Struktur
Bangunan
• Rendahnya mutu bahan bangunan, seperti
kayu lapuk, kuat tekan beton rendah,  
• Rendahnya mutu pengerjan, seperti:  peng-
gunaan aduk yang salah, besarnya bukaan
pada dinding pasangan bata, sistem
sambungan tradisional yang lemah,
mengecor beton tanpa pemadatan,
• Penggunaan bahan struktur yang tidak tepat,
seperti  pasangan dinding polos (tanpa
penguat dan/atau baja tulangan) difungsikan
sebagai struktur pemikul beban,
• Kesalahan konfigurasi sistem struktur,
seperti:  tidak mengikuti kaidah struktur
bangunan tahan gempa, seperti kaidah:
keteraturan, kontinuitas, kesimetrisan pada
seluruh bangian bangunan,
• Salah penyelesaian detail tulangan (kasus
pada struktur beton),
• Bangunan tradisional joglo, sistem
sambungan sunduk, takikan lidah alur,
lemah pada sistem sambungan antar batang
komponen, mudah patah dan roboh total,
• Bangunan ES (bangunan bertingkat yang
dirancang oleh ahli bangunan), mengalami
rusak atau roboh total, akibat tidak mengikuti
ketentuan SNI bangunan tahan gempa,
kesalahannya antara lain  sebagai berikut:
o  soft story, struktur di tingkat terbawah
lemah,
o  short column effect and column shear
failure, rusak geser akibat kurangnya
sengkang penahan geser,
o  strong beam weak column and weak
joints, kolom terlalu langsing, sementara
baloknya terlalu kuat,
o salah detail tulangan (rebar), tidak
mengikuti ketentuan SNI, 
o kurangnya sengkang penahan geser dan
sengkang pengekang di inti join

5.2 SNI yang Terkait dengan Bangunan
Tahan Gempa
ƒ Tata Cara Ketahahan Gempa untuk
Bangunan Gedung”, SNI-1726-2002.
ƒ Naskah Final RSNI: “Tata Cara Perenca-
naan Struktur Beton Untuk Bangunan
Gedung”. 
ƒ Tata Cara Perencanaan Dinding Struktural
Pasangan Blok Beton Berongga Bertulang
Untuk Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-
03-3430-1994.



5.3 Kendala yang sering dihadapi 
Kendala yang dihadapi dalam upaya penyebar-
luasan SNI, antara lain:
ƒ tidak tersedianya dan sulit didapatkannya
buku-buku SNI dalam jumlah yang cukup di
daerah-daerah,
ƒ belum meluasnya upaya penyebarluasan
SNI di daerah-daerah, terutama di luar Jawa.
ƒ terbatasnya tenaga penyuluh terampil (ahli)
yang dapat diterjunkan ke daerah-daerah,
ƒ terbatasnya dana yang mendukung kegiatan
penyebarluasan SNI.



   96
5.4 Penyebab tidak teraplikasikannya SNI
dalam bangunan 
ƒ Bangunan gedung dan rumah dibuat
sebelum SNI dilahirkan,
ƒ Sosialisasi SNI belum sampai atau tidak
menjangkau ke daerah-daerah tertentu. 
ƒ Sosialisasi SNI sudah sampai tetapi
pengguna sengaja tidak mau menggunakan,
ƒ keterbatasan ekonomi (tidak tersedia biaya
konstruksi yang memadai).

5.5 Sasaran Penyebar-luasan SNI.
ƒ Perguruan Tinggi Teknik (Jurusan Sipil dan
Arsitektur), 
ƒ Para konsultan dan kontraktor bangunan
gedung dan rumah, 
ƒ Para anggota Asosiasi profesional, seperti
HAKI 
ƒ Para pejabat PU daerah, khusunya
pengawas dan pemberi ijin bangunan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Litbang Kimpraswil, Puslitbang
Permukiman, 2002. Tata Cara Ketahahan
Gempa Untuk Bangunan Gedung, SNI-1726-
2002.
2. Badan Litbang Kimpraswil, Puslitbang
Permukiman, 2002. Naskah Final RSNI, Tata
Cara Perencanaan Struktur Beton Untuk
Bangunan Gedung.
3. S. Suwandojo, 1999. Uji Eksperimental dan
Desain Struktur bangunan Rendah Sebagai
Alrternatif Perbaikan Struktur Bangunan-
Penduduk di Daerah Gempa, Pusat Studi
Masalah Kegempaan, Jurusan Teknik SIPIL
ITB, ISBN no. 979-95846-0-4.
4. S. Suwando, 1996. Struktur Bangunan
Rumah Tinggal di Daerah Rawan Tsunami,
Lokakarya Pengenalan dan Mitigasi Akibat
Gempa Tektonik dan Tsunami, 21-22 Mei-
1996.
5. S. Suwandojo, 1995. Laporan Penelitian dan
Evaluasi Lapangan terhadap Kerusakan
bangunan Akibat Gempa Hyogo Ken
Hanshin KOBE, Japan, 17-1-1995, Laporan
Teknis Intern Puskim, Balitbang PU, Dep PU.
6. S Suwandojo. 1987, Earthquake Disaster
and Building Structural Damages in
Indonesia, Proceeding and Final Report on
the Seminar on Technology for Disaster
Prevention, Vol 11, Dec 1987, Tsukuba
Japan.
7. S. Suwandojo. 1985, Desain Konstruksi
Bangunan Sekolah Tahan Gempa, 1985,
Jurnal Penelitian Permukiman Vol.1 No. 1
1985.
8. Karlsen G G, 1961,  Wooden Structures,
UDC 624.011.1/6(0.75.8)=20.
9. German Gurfinkel, 1981, “Wood
Engineering”, second eddition, Kendall/Hunt
Publishing Company, Dubuque, Iowa.
10. Keith F. Faherty, Thomas G Williamson,
1989  Wood Engineering and Construction
Handbook, McGrraw Hill Publishing
Company, USA.
11. American Concrete Institute, 1995.  Building
Code Requirements for Reinforced Concrete,
ACI 318-1995 and Commentary”.
12. Boen T, Desember 1992, Manual Perbaikan
Bangunan Sederhana yang Rusak Akibat
Gempa Bumi,
13. Boen T, Januari 1994. Anjuran Perbaikan
Detail Struktur Bangunan Sederhana yang
Rusak Akibat Gempa Bumi, Kasus Gempa
Halmahera 21-1-1994.
14. Boen T, Februari 1994. Manual Perbaikan
Bangunan yang Rusak Akibat Gempa, Kasus
Gempa Liwa, Lampung Barat, 16-2-1994.
15. Boen T, Oktober 1995. Manual Perbaikan
dan Perkuatan Bangunan yang Rusak Akibat
Gempa Bumi, Kasus Gempa Kerinci 7-10-
1995.
16. Boen T, February 1996. Bencana Gempa
Bumi: Fenomena, Akibat dan Perbai-
kan/Perkuatan Yang Rusak, Kasus Gempa
Biak, Irian, 17-2-1996.
17. Boen T, 2001,  Impact of Earthquake on
School Building in Indonesia, paper
presented on UNCRD International
Workshop and Symposium Titled”, Kobe 29-
31 Jan2001.
18. Anan S Arya dan tim, Oktober 1986. 
Guidelines for EQ Resistant Non-Engineered
Construction, The International Association
for EQ Engineering, Tokyo, Japan.
19. Kepres RI No. 106 Tahun 1999. “Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana, Bakornas 
20. Kepres RI No. 3 Tahun 2001, Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi,
Bakornas PBP   
21. CIDI, 2000,  Indonesia Earthquake 12-June-
2000.  OCHA Situation Report No. 5, 12-
June-2000, Case: Bengkulu EQ 4-5-6 June
2000. 

97
22. Nanang T Puspita Gunawan, 2001. National
Report of the Republic of Indonesia on
Tsunami.
23. Nanang T Puspita, Desember 2002, Sepuluh
Tahun Setelah Bencana Tsunami Flores,
Kompas Cyber Media, 21-Des-2002.
24. Badan Meteorology dan Geofisika, 2003.
Sejarah Tsunami di Indonesia Bagian Timur.
25. George PC, 2002,  The Great Tsunami of
August 26,  1883,  from the Explosion of
Krakatau in Indonesia.
26. Nelson Joku, 2000, The Impact of  17-7-1998
Tsunami at Jayapura, Indonesia.
27. Edward Bryant, 2001, Tsunami: Where They
Happan and Why. 
28. S Suwandojo, 1993, Perilaku Kolom
terhadap Beban Kombinasi Aksial Tekan dan
Lateral Siklis, Jurnal Penelitian Permukiman
IX,11-12, Des 1993, ISSN 0215-0778.
29. S. Suwandojo, 1993, Perilaku Komponen
Struktur Bakok Beton Bertulang terhadap
Beban kombinasi Geser dan Lentur Siklis,
Jurnal Penelitian Puslitbang Permukiman,
1993.
30. S. Suwandojo, 1991, Ketentuan Perenca-
naan Komponen Struktur Balok Beton
Bertulang, Berita Himpunan Ahli Konstruksi
Indonesia, Edisi Mei-Juni 1991,
31. S. Suwandojo, 1996,  The Behavior and
Shear Capacity of Reinforced Concrete
Hollow Block masonry Walls, subjected to
combined Axial and Lateral Cyclic Loadings,
Proceeding of HAKI Conference on Civil and
Structural Engineering, Jakarta 21-22 August
1996, ISBN 979-95080-1-0.
32. S.Suwandojo, 1994, Dinding Pasangan
Bertulang Sebagai Komponen Struktur
Tahan Tsunami, Prosiding Seminar Sehari,
Masalah Tsunami di Indonesia, Bandung, 6-
September 1994, ITB Bandung.
33. S. Suwandojo, 1996, Struktur bangunan
Rumah Tinggal di Daerah Rawan Tsunami,
Lokakarya Pengenalan dan Mitigasi Akibat
Gempa Tektonik dan Tsunami, Dep PU, PT
Bina Karya dan Flores Earthquake
Reconstruction Project, Ujung Pandang, 21-
22 Mei 1996

BIODATA

Prof. Suwandojo Siddiq, DE Eng, APU,
dilahirkan pada tahun 1942. Penulis
mendapatkan gelar Research Prof. Bidang
Teknologi Gempa untuk Struktur Bangunan
Tinggi  pada tahun 2005. Penulis adalah Peneliti
Utama Bidang Struktur dan Teknologi Gempa.
Sejak tahun 1980 sampai sekarang, Penulis
bekerja sebagai Peneliti Bidang Struktur &
Teknologi GempaPuslitbang Permukiman,
Departemen Pekerjaan Umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar